Tak Selayaknya Harapan Menjadi Beban

Harapan = Beban? seharusnya tidak, seharusnya bukan. Tapi itulah yang sejak kecil menjadi PR untukku, mengubah cita rasa itu, harapan yang seringkali menjelma layaknya beban.
Aku kurang tahu persis apa sebab ini terjadi.Tapi yang jelas aku baru menyadari bahwa tanpa dibuat-buat itulah yang terjadi dan mengiringi setiap harapan (mimpi) ku.


Dimulai sejak SD, tidak satu dua kali aku jatuh sakit menjelang Ulangan Umum Bersama. Masih ingat benar saat Kakung (sebutan untuk kakeku) dengan sabar menemani ku belajar di samping kursi panjang di ruang tamu. Sambil berbaring karena sakit, kakekku menemaniku mengerjakan soal latihan.  Tapi aku bersyukur, dengan bantuan do'a dari orang-orang yang aku sayangi dan Allah berkenan mengabulkanya, sehingga mimpiku terwujud. Juara kelas bertahan aku dapatkan selama duduk di bangku sekolah dasar, kecuali saat cawu terakhir di kelas 6.

Kondisi ini juga berulang saat SLTP. Aku jatuh sakit pada minggu tenang menjelang EBTANAS. Ibu mengantarku ke dokter, dan ternyata aku diduga terkena typhus. H-3 jelang EBTANAS dokter meminta ku untuk cek lab. Saat itu aku menangis di depan ibu, aku menangis karena khawatir tidak bisa memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang kusayangi. Ternyata ibuku sangat bijak, waktu itu yang ia lakukan adalah memberikan ketenangan padaku. Ibuku yang dalam sehatku sangat rajin memantau belajarku, ternyata kala sakitku ia memberikan motivasi untuk aku tetap yakin bahwa aku bisa mengikuti EBTANAS.


Kembali aku merasakan kekuatan dari sebuah do'a. Alhamdulillah, dokter mengatakan bahwa aku hanya gejala typhus. Dengan kondisi masih demam dan lemas, ibuku mengantar dan menjemputku ke sekolah (lokasi rumah dan sekolah kira2 15Km) untuk mengikuti EBTANAS. Saat itu, aku merasakan begitu bersahabatnya soal EBTANAS. Itulah yang terjadi, hingga pada hari pengumuman kelulusan, aku merasakan bagai mendapat hadiah. NEM (aku lupa kepanjangannya apa ya? y intinya nilai hasil EBTANAS gitu) yang kuperoleh diluar yang ku duga dan ku nyana. Kembali aku bersyukur, kembali aku mengagumi kedahsyatan sebuah do'a yang tanpa sepengetahuanku mereka (orang-orang yang aku sayangi) hadiahkan untukku.

Cerita belum usai. Akibat NEM 'hadiah' itu, akhirnya  aku masuk SMA idaman dan ternyata menyebabkan aku masuk ke dalam komunitas kelas unggulan. Hmm, persaingan begitu terasa ketat olehku, karena sebenernya aku bukan seseorang yang pandai ataupun cerdas, kalo kata ibuku aku hanya terkadang tekun :))
Begitu juga saat SMA, saat hendak ujian semester, aku kembali jatuh sakit. Anehnya, sakit pra ujian sekolah sejak SD-awal SMA adalah sakit dengan indikasi yang mirip : demam tinggi, radang tenggorokan/mirip gejala typhus. Saat itu teman-teman kelas dan teman organisasi di SMA menjenguku, mereka mencoba menghiburku, bahkan Kakung dan Uti (sebutanku untuk nenekku) mendatangkan pak kyai untuk mendo'akan aku. Alhamdulillah, aku kembali bisa melewati ulangan umum itu.

Hingga pada suatu hari, saat aku masuk ke ruang guru di SMA, ibu guru wali kelasku bertanya padaku: "mba candra sakit apa kemarin?" dan aku dengan cengar-cengir menjawab: "biasa bu, sakit kalo mau ujian, dari kecil saya udah begitu kok" lalu ibu wali kelas menimpali : "jangan ya, jangan dibiasakan lagi, besok harus berusaha agar tidak sampai sakit lagi kalo mau ujian"
Aku keluar dari ruang guru dengan sebuah pertanyaan: bagaimana caranya ya? memang mauku aku sakit?aku juga maunya sehat :)

Nah dari situlah bermula, dari percakapan singkat antara aku dan wali kelasku. Aku mencoba mencari rumusan agar tidak jatuh sakit menjelang ujian. Dalam pencarian itu, aku dipertemukan dengan 'lingkaran' yang begitu memikat hatiku. Singkat cerita dari 'lingkaran' itu akhirnya aku mulai menemukan benang merah penyebab sakitku setiap hendak jelang ujian. Pelan-pelan aku menjadi dokter atas diriku, dan alhamdulillah sejak kelas 2 SMA aku sudah tidak lagi jatuh sakit menjelang ujian datang (mungkin seiring aku menjadi dewasa kali ya ^_^).

Seiring waktu berjalan, HARAPAN bagiku tidak lagi hanya sekedar berprestasi dalam akademik. Apalagi setelah memasuki masa kuliah dan pasca kampus. Harapan begitu meluas bahkan bisa tanpa batas definisi. Dan tantangan bagiku bukan jatuh sakit demam seperti saat-saat dulu. Aku yang sejak SMA mengira sudah mulai 'sembuh' atas penyakit 'jelang ujian' ternyata saat ini 'sakit' itu menjelma dalam bentuk lain, menjadi sakit yang tak tampak oleh mata dan aku masih berusaha untuk melakukan penyembuhan atas itu semua.
Apa yang salah kiranya padaku, aku hanya ingin memberikan yang terbaik yang kubisa untuk keluargaku. Tidak pernah bapak dan ibuku memberikan tuntutan padaku, bahkan sebaliknya, mereka menyerahkan pilihan-pilihan kehidupan (menyerahkan bukan membiarkan, karena kami juga tidak jarang berdiskusi terbuka dan berbeda pendapat dalam pengambilan keputusan). Dan kepercayaan dari mereka atas 'kemerdekaan' pilihan sedikit banyak membuatku bertekad untuk melakukan sebaik yang kubisa, nah disinilah terkadang tanpa kusadari harapan menjelma layaknya beban. Ternyata, orang tuaku pun bisa turut merasakan apa yang sedang didera oleh anaknya, tak jarang bapak berpesan: hidup itu ga usah ngoyo, yang penting kamu sudah berusaha, bapak sama ibu juga turut berdo'a, kamu ini kok kayak ndak punya Tuhan aja, katanya sudah 'ngaji' ayo diterapkan ilmunya.

Saat ini aku pun masih mencoba mengobati, kata seorang teman: hidup kok dibawa sulit. Sungguh bukan begitu sebenernya niatku. Atau kata temanku, mungkin aku kurang bisa berbagi, lebih suka menyimpanya sendiri. Sungguh, aku juga sangat senang saat bisa berbagi, tapi mungkin berbagi yang menurut banyak orang adalah yang mudah tapi tidak sepenuhnya begitu bagiku. Mungkin itu karena kebiasaan saja kali ya, karena aku di rumah tidak ada kakak atau adik, anggota keluarga yang sama-sama menyandang status anak, meski bapak dan ibuku bisa dijadikan teman dan sahabat tetap saja beda kali ya citrasanya (ga tahu sih gimana rasanya punya kakak dan adik :p )

Aku berharap aku bisa mulai belajar berbagi dari sini, dari blog sederhanaku ini. Semoga selain ku bisa berbagi kiranya ada sedikit hikmah yang bisa diberi di sini. Mungkin dengan membaca tulisan ini, ada yang bisa mencari formulasi yang tepat menjadi orang tua saat nanti mempunyai anak tunggal :)

Mari berbagi, karena: Tak Selayaknya Harapan Menjadi Beban

2 comments:

Unknown 2 Juni 2010 pukul 15.10  

ayo temukan formulanya.. jangan liat susahnya, tapi liat senangnya.. semoga ngga bikin "sakit"
kayak mau naek Tornado di dufan, bukan mengerikannya, tapi bareng2 temen dan tertawanya aja yang dipikirin :D

I-Can 4 Juni 2010 pukul 18.21  

Alhamdulillah, pelan-pelan aku menemukan serpihan formula itu mba qi ^.^
terimakasih atas masukannya.

Posting Komentar

Halaman

Teman I-Can

Ingin Menyapa?